Rabu, 11 Juni 2008

Surat dari Ayah

Untuk anakku, Ayah nggak mau kehilangan momen itu.
Ada anak yang menangis keras di pinggir jalan, entah apa yang membuatnya menangis. Ketika seorang wanita menghampirinya, tangisnya tambah keras, bahkan sampai telentang di trotoar. Tidak tahu apa masalahnya, tapi itu membuat Ayah ingat kepadamu, anakku.
Ketika November 2007 - Ayah yakin ini bagian dari rencana Allah - kantor menugaskan untuk mutasi ke kota lain, mendadak tanpa tawaran dan konfirmasi apapun. Satu hal yang terpikir dan memberatkan langkah adalah bahwa Ayah tidak mau melewatkan satu detikpun perkembangan yang terjadi atas dirimu.
Tapi berbekal keyakinan bahwa The Grand Scenario itu telah tertulis dan Ayah sebagai pemain harus menjalankannya, Bismillah Ayah mantap melangkah.
Entah apa yang membuat Ayah terharu, ketika melihat anak menangis di pinggir jalan. Yang jelas Ayah teringat bahwa sebagian besar waktu yang harusnya punyamu, terenggut, terampas, oleh yang namanya kewajiban.
Yah.. betul, kewajiban untuk bekerja mencari nafkah. Sehingga menyita waktu untuk bisa bermain dan bercengkerama bersamamu. Sungguh hati ini terharu, bingung tidak bisa berkata apa, dosakah Ayah telah merampas waktumu untuk sekedar bermanja-manja. Salahkan keputusan untuk menerima tawaran pindah ke kota lain sehingga kurang waktumu untuk bercanda bersama Ayah.
Semoga kamu seyakin Ayah, bahwa ini adalah lembar-lembar episode cerita hidup yang harus kita lalui bersama. Yakinlah bahwa rencana Allah tidak pernah salah. Yang salah adalah prasangka kita.
Yakinlah...

Tidak ada komentar: